Selasa, 23 November 2010

Menjemput Wayang dari Kepunahan

http://syaifudin.student.umm.ac.id/files/2010/08/wayang.jpg
Kesenian tradisional ini merupakan warisan budaya Indonesia yang diketahui berbagai kalangan, kesenian wayang. Lebih dari ribuan tahun yang lalu kesenian wayang sudah lahir ke dunia. Kesenian wayang pada masa-masa kejayaannya, pada abad 19, terkenal dengan kemampuannya beradaptasi dengan segala perkembangan yang terjadi. Namun, siapa yang menyangka separuh dari 40 jenis wayang di Pulau Jawa sudah punah. Kini masyarakat Indonesia terkesan melupakan keberadaan wayang. Banyak anak muda yang tidak paham tentang wayang itu sendiri. Hal ini cukup mengenaskan mengingat wayang Indonesia ditetapkan UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 7 November 2003. Padahal dalam kesenian wayang terkandung filosofi yang tinggi. Saling menghargai, jujur, adil, tanggung jawab, dan loyal kepada negara, adalah nilai universal yang dimiliki oleh kesenian wayang.

“Karena kita tidak menghargai, bahkan banyak anak muda yang tidak mengerti wayang itu apa.” Ucap Dr. Kanti Walujo, M.Sc., Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Telematika dan Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Komunikasi dan Informatika,  saat ditanya mengenai penyebab punahnya beberapa jenis wayang.

Pendapat tersebut memang dapat dibuktikan dengan mudah. Sebagai mahasiswa, apakah kalian sudah merasa mengerti mengenai dunia pewayangan? Coba tengok sekitar, sedikit sekali mahasiswa yang tidak memiliki kepedulian terhadap wayang. Padahal, generasi muda merupakan satu-satunya yang bisa membantu pergerakan wayang di Indonesia, yaitu dengan regenerasi. 

Belakangan ini, pihak pemerintah daerah Palembang mendapatkan bantuan dari UNESCO atas kerjasama dengan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. Dengan adanya bantuan tersebut, anak-anak muda lah yang diajari mendalang. Dengan demikian generasi muda bisa mengenal budaya negerinya sendiri. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan wayang kan bahasa daerah, hal ini menambah pengetahuan budaya mereka. Namun, hal ini tidak dapat ditemui di daerah-daerah lain. Seharusnya regenerasi seperti itu dapat menjadi contoh bagi pemerintah daerah di berbagai pelosok di Indonesia.

" Saya mengenal wayang itu di Amerika, sekitar tahun 1982. Saat itu saya menonton Sendratari Ramayana, yang memainkannya orang Jepang dan Amerika. Namun, guru mereka adalah orang Jawa. Saya merasa kecelek saat itu. Dari situ saya belajar, apa sih wayang itu. Sampai-sampai saya menulis disertasi tentang wayang."  Ujar Kanti Walujo, peneliti yang mengambil minat di bidang komunikasi tradisional.

Cuplikan cerita dari Kanti Walujo yang merupakan lulusan Ohio University USA ini cukup menohok. Bangsa lain saja menghargai kesenian dari negara Indonesia. Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah, kebanyakan masyarakat Indonesia yang tidak peduli dan tidak menghargai. 

Adanya ekstrakurikuler atau unit kegiatan mahasiswa mengenai kesenian tradisional cukup membantu untuk mengembangkan pengetahuan tentang kesenian. Jika wayang diterapkan dalam unit kegiatan mahasiswa, bisa saja antusiasme mahasiswa ditanam dan tumbuh serta merta. Namun, kendala yang dihadapi adalah keterbatasan biaya serta orang-orang yang ahli dalam dunia pewayangan sudah semakin sedikit.

Sebagai mahasiswa, generasi muda yang masih memiliki rona kehidupan yang segar, kita bisa memahami sedikit tentang wayang melalui internet. Bahkan sebagian besar remaja yang menggemari pertunjukan wayang di Jogjakarta, mengenal asal-usul dan seluk beluk pewayangan dari internet. Dari iseng-iseng menjadi jatuh hati. (Lana Syahbani)

sumber: wawancara dengan Dr. Kanti Walujo, M.Sc., Jumat, 12 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar