Rabu, 24 November 2010

Seni Payung Geulis yang Memudar


Payung geulis, payung khas Tasikmalaya, Jawa Barat, pada masa penjajahan Belanda, sekitar tahun 1926, dipakai oleh none–none Belanda. Banyaknya permintaan pada masa itu, membuat masyarakat Tasikmalaya diminta untuk membuat payung geulis.
Meski tak lagi sehebat masa jayanya di tahun 70 hingga 80-an, kerajinan khas Tasikmalaya, payung siem, ternyata belum benar-benar tenggelam. Ribuan payung yang kemudian beken dengan sebutan payung geulis ini ternyata masih dicari pembeli di mancanegara. Sekalipun di Tasikmalaya sendiri produknya sudah sulit dicari.
payung geulis
Sebelum tahun 70-an, payung yang saat itu masih disebut payung siem memang benar-benar berfungsi sebagai payung untuk menangkal panas matahari dan air hujan. Namun payung buatan Cina yang terbuat dari kain parasit dan rangka besi,ini pelan-pelan mulai tersisih. Sebab, selain harganya lebih mahal, payung ini pun terhitung mudah rusak sekalipun sangat indah.
Pelaku usaha payung siem legendaris, almarhum H Syirod di Jalan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, saat itu memutar otak untuk mempertahankan eksitensi payung tradisional itu. Ia mulai memodifikasi tudung payung yang semula dicat polos, diganti dengan aneka lukisan tangan. Fungsi payung pun akhirnya beralih menjadi barang kerajinan.
Payung buatan H Syirod ini disebut payung geulis karena bagian atas tudungnya dihiasi beraneka lukisan indah, mulai dari lukisan bunga hingga alam. Bahan bakunya pun berasal dari bambu dan kayu albasi untuk rangka. Sedang tudungnya terbuat dari kertas atau kain putih yang oleh warga setempat dekenal dengan sebutan kain boeh.
Salah satu tempat pembuatan payung geulis berada di Desa Panyingkiran, Indihiang, Tasikmalaya, Jawa Barat. Payung geulis, yang terbuat dari bahan kertas dan kain ini, mengalami masa kejayaan, pada era 1955 sampai 1968. Namun masa kejayaan itu berangsur – angsur surut setelah pemerintah pada tahun 1968, menganut politik ekonomi terbuka. Sehingga payung buatan pabrikan dari luar negeri masuk ke Indonesia. Hal ini berdampak pada hancurnya usaha kerajinan payung geulis di Tasikmalaya.
Usaha kerajinan ini mulai bersinar kembali sejak tahun 1980-an. Para perajin mulai membuka kembali usaha pembuatan payung, walau dalam jumlah kecil. Harga payung ini di pasaran lokal sangat murah. Untuk satu payung berdiameter 42 hanya dihargai 20 ribu rupiah.
Agar kerajinan ini dapat terus bertahan, Pemerintah Kotamadya Tasikmalaya, Jawa Barat, harus turun tangan memberikan bantuan dalam hal pemasaran dan modal kerja. (Aditya Amran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar